TRIBUNPALU.COM, MORUT – Ribuan warga Suku Taa Wana mendiami pedalaman Desa Manyoe, Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Mereka hidup terpencil sekitar 60 kilometer dari jalan aspal terdekat.
Suku Taa Wana bertahun-tahun hidup berpindah-pindah di hutan, terhubung dengan jalan setapak yang ditumbuhi ilalang.
Bahasa Indonesia pun tidak semua mereka pahami, sebuah kenyataan getir menjelang 80 tahun Indonesia merdeka.
Ketika alat berat seperti ekskavator dan buldoser mulai bekerja membuka akses ke kampung mereka, wajah-wajah bahagia langsung terpancar.
Bagi mereka, jalan lebar adalah berkah yang disambut seperti hari raya.
Anak-anak berlarian di jalur tanah yang baru terbuka, ibu-ibu menggendong anak dan bapak-bapak membawa bekal dari bukit ke bukit.
Remaja putri mengenakan baju baru, bahkan lipstik dan pita rambut layaknya hendak pergi ke kota.
Mereka menyambut tim pembuka jalan dengan memberikan tebu manis untuk dimakan bersama-sama.
Awalnya, masyarakat takut bertemu orang baru dan memilih mengintip dari balik semak ilalang.
Namun, setelah tim mendatangkan Kodi, sepuh dari Watu Lempe yang sangat mereka hormati, perlahan mereka mendekat.
Komunikasi pun mulai terjalin, meski terputus-putus oleh perbedaan bahasa.
Tetap saja, hangatnya pertemuan tak terbendung.
Rasa nyaman tumbuh meski tak semua saling memahami secara verbal.
Dengan bantuan penerjemah lokal, tim mencoba mengenalkan angka kepada anak-anak dan remaja.
Mereka menghitung dari satu sampai sepuluh pun masih menjadi tantangan.
Di tengah keterbatasan, terlihat jelas kerinduan warga Suku Taa Wana akan pendidikan, akan dunia yang lebih luas dari hutan dan ladang berpindah.
Namun harapan itu mendadak terhenti. Pengerjaan jalan yang baru saja mengubah hidup mereka kini dihentikan.
Teriakan lirih terdengar dari anak-anak dan ibu-ibu.
“Kami ingin jalanan. Kami ingin sekolah. Kami ingin hidup lebih baik.”
Tak banyak yang bisa dilakukan selain menangis dan mengurut dada melihat kenyataan itu.
Bue Pangga, seorang tetua adat yang diperkirakan berusia hampir 100 tahun, menyampaikan harapan yang menggugah.
“Dunia itu baik. Hanya pikiran dan keinginan manusia yang membuatnya buruk. Maka harus sekolah supaya jadi baik,” tuturnya dengan mata sembab.
Ia tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, tapi tutur katanya penuh filosofi, seakan sedang berbicara dari ruang kelas para sarjana.
Kini warga hanya berharap satu hal. pengerjaan jalan itu dilanjutkan.
Bukan demi kemewahan, melainkan demi anak cucu mereka yang rindu pendidikan, persatuan, dan masa depan yang lebih terang.
Suku Taa Wana, juga dikenal sebagai Tau Taa Wana atau To Wana, adalah salah satu kelompok etnis adat yang mendiami wilayah pedalaman Sulawesi Tengah, Indonesia.
Nama “Tau Taa Wana” secara harfiah berarti “orang yang tinggal di hutan”, mencerminkan cara hidup dan keterikatan mereka yang erat dengan lingkungan hutan.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai Tau Taa atau “orang Taa.”
Suku Taa Wana tersebar di beberapa wilayah pegunungan dan hutan di Sulawesi Tengah, terutama di sekitar Pegunungan Tokala, Sungai Bongka, dan Sungai Salato, yang meliputi sebagian Kabupaten Tojo Una-una, Morowali, dan Morowali Utara.
Artikel ini telah tayang di TribunPalu.com dengan judul Jeritan dari Pedalaman Morowali Utara: Kami Ingin Sekolah, Kami Rindu Jalan, https://palu.tribunnews.com/2025/07/26/jeritan-dari-pedalaman-morowali-utara-kami-ingin-sekolah-kami-rindu-jalan?page=all.
Penulis: Regina Goldie | Editor: mahyuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar