Kamis, 31 Juli 2025

Suku Taa Wana mendiami pedalaman Desa Menyoe

 

Ribuan warga Suku Taa Wana mendiami pedalaman Desa Menyoe, Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

Mereka hidup terpencil sekitar 60 kilometer dari jalan aspal terdekat.

Suku Taa Wana bertahun-tahun hidup berpindah-pindah di hutan, terhubung dengan jalan setapak yang ditumbuhi ilalang.

Bahasa Indonesia pun tidak semua mereka pahami, sebuah kenyataan getir menjelang 80 tahun Indonesia merdeka.

Suku Taa Wana, juga dikenal sebagai Tau Taa Wana atau To Wana, adalah salah satu kelompok etnis adat yang mendiami wilayah pedalaman Sulawesi Tengah, Indonesia.

Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai Tau Taa atau "orang Taa."

Suku Taa Wana tersebar di beberapa wilayah pegunungan dan hutan di Sulawesi Tengah, terutama di sekitar Pegunungan Tokala, Sungai Bongka, dan Sungai Salato, yang meliputi sebagian Kabupaten Tojo Una-una, Morowali, dan Morowali Utara.

Baca berita selengkapnya di:


Editor IG : Nurul Aida
Penulis : Regina Goldie
Editor Konten : Mahyuddin
Sumber : TribunPalu

#tribunpalu #kotapalu #sulawesitengah #beritaterkini #paluhariini #newsupdate #virallokal #desamanyoe #kabupatenmorowaliutara #sukutaawana



SUKU TOWANA (TAU TAA WANA) Morowali Utara, Sulawesi Tengah

 


Komunitas dengan sejarah yang sangat tua adalah suku Wana ( Tau Taa Wana yang berarti orang yang tinggal di hutan).  Suka disebut sebagai Tau Taa atau orang Taa. Berbicara dalam bahasa Taa, memiliki kemiripan bahasa dengan suku Taa yang berada di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Tojo Una-Una. Suku To Wana telah ada sebelum 2000 tahun yang lalu. Sebelum sekarang mendiami kawasan Pegunungan Tokala, Lipu Sumbol, Desa Taronggo, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, nenek moyang orang Wana berasal dari sekitar Teluk Bone dan Teluk Tomini
A.C Kryut, peneliti awal dari Belanda, dalam artikelnya yang berjudul De To Wana op Oost-Celebes (1930), sebagian imigran tersebut kemudian menyebar dan mengelompok menjadi empat suku yang memiliki dialek bahasa yang berbeda, yaitu :
1.      Suku Barangas, berasal dari Luwuk dan bermukim di kawasan Lijo, Parangisi, Wumanggabino, Uepakatau, dan Salubiro;
2.      Suku Kasiala, berasal dari Tojo Pantai Teluk Tomini dan kemudian bermukim di Manyoe, Sea, sebagian di Wumanggabino, Uepakatau, dan Salubiro;
3.      Suku Posangke, berasal dari Poso dan berdiam di kawasan Kajupoli, Toronggo, Opo, Uemasi, Lemo, dan Salubiro;
4.      Suku Untunue, mendiami Ue Waju, Kajumarangka, Salubiro, dan Rompi. Kelompok suku ini sampai sekarang masih menutup diri dari orang luar.
Tetua-tetua adat di Bulang dan tetua-tetua Morowali,  menuturkan leluhur mereka adalah satu, berasal dari Tundantana, yaitu sebuah tempat di wilayah Kaju Marangka, yang berada dalam kawasan Cagar Alam (CA) Morowali. Tundantana  sebagai tempat manusia pertama  melahirkan leluhur-leluhur Suku Wana
Dari ciri-ciri fisik, kebudayaan material maupun dialek bahasa, Suku Wana termasuk dalam kelompok suku besar “Koro Toraja” yang rute migrasinya berawal dari muara antara Kalaena  dan Maili, menyusuri Sungai Kalaena dan terus ke utara melewati barisan Peg.
Jadi Suku Wana berkait dengan suku2 di utara Tomini dll, juga dengan Toraja di barat Sulawesi.



Tradisi Tau Taa Wana Dalam Pengurangan Risiko Bencana

 


Coba deh Disasterizen, bayangkan kita akan jalan-jalan keliling Indonesia. Sekarang kita pergi mengelilingi Pulau Sulawesi, tepatnya berada di pegunungan Tokala, Sulawesi Tengah. Daerah diantara hijaunya Pegunungan Tokala ini terdapat suku yang sangat tua, yaitu Suku Wana. Suku ini sering disebut sebagai Tau Taa Wana, yang berarti orang tinggal di hutan. Mereka juga menyebut diri mereka sebagai Tau Taa atau orang Taa.

Kalian mesti tahu kalau orang-orang dari Tau Taa Wana ini memiliki tradisi sebagai pengurangan risiko bencana, lho!  Orang Taa Wana memiliki kebiasaan hidup berladang pindah. Kebiasaan orang Taa Wana ini berladang pindah yang menyesuaikan dengan musim.

Misalnya saja ketika musim hujan, mereka tidak mengolah dan menempati ladang dikawasan tepian sungai. Mereka akan berpindah ke ladang lainnya dan menempati ladang dikawasan pegunungan dengan maksud untuk menghindari jika sewaktu-waktu terjadi luapan sungai. Lalu, selepas musim hujan mereka akan kembali berladang di tepian sungai.

Bagi orang-orang Taa Wana ini, alam memiliki kehendaknya sendiri yang tidak dapat ditolak apalagi dilampaui oleh manusia. Orang Taa Wana ini menurut mereka memiliki hubungan erat dengan alam, bahkan menganggap sahabat alam. Maka dari itu, mereka bersikap bijak dengan alam, karena alam dipandang bagian dari jiwa dan raganya. Nah, ladang berpindah ini merupakan aktivitas mengikuti irama gerak alam.

Dari pola hidup seperti mengolah sumber makanan, membangun kawasan tempat tinggal, bertahan hidup, merupakan aktivitas orang Taa Wana sehari-hari di mana mereka sangat memahami bagaimana seharusnya hal itu dilakukan.


SUMBER : https://siagabencana.com/tradisi-tau-taa-wana-dalam-pengurangan-risiko-bencana/


PT CAS Bantu Perbaikan Jalan Sepanjang 30 KM di Morowali Utara Sulteng


TRIBUNPALU.COM - Kepedulian terhadap infrastruktur di daerah terpencil kembali dibuktikan oleh PT Cipta Agro Sakti (CAS).

Dengan mengerahkan alat berat dan logistik secara masif, perusahaan ini melakukan pengerasan jalan sepanjang lebih dari 30 kilometer yang menghubungkan Desa Uepakato dan Desa Mayoe, Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

“Kegiatan ini bukan semata untuk mendukung mobilitas kami sebagai perusahaan, tapi yang utama adalah membantu masyarakat pedalaman mendapatkan akses yang lebih cepat ke pasar, rumah sakit, dan sekolah,” ujar Sesri Hendra Wandi, S.T.P., S.H., M.H. selaku General Manager PT CAS pada 7 Juli 2025.


Ia melanjutkan pembangunan yang berkelanjutan harus menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, salah satunya adalah akses jalan yang layak.

Proyek ini melibatkan 2 unit excavator, 1 bulldozer, 1 grader, 1 compactor, dan 7 dump truck untuk mengangkut material Sirtu (Pasir dan batu). 

Kini, jalan yang sebelumnya berupa tanjakan berlumpur yang sulit dilewati sepeda motor maupun mobil, terutama di musim hujan, sudah bisa dilalui semua jenis kendaraan dengan mudah.

Dengan bantuan ini Kepala Desa Uepakato, Nero Rio menyampaikan antusias dan berterima kasih kepada PT CAS.

 “Saya dengan senang hati menyediakan lahan sumber sirtu karena ini demi kepentingan bersama. Kami sangat berterima kasih atas perhatian PT CAS yang membantu memperbaiki jalan yang sudah lama kami impikan.” kata Nero Rio.


Senada, Kepala Desa Mayoe, salah satu warga Sulwinsis Dowo merasakan manfaat perbaikan jalan tersebut.

“Warga dari kampung Pandalempe, Uemasi, Padang Tangkal, Padangkalang, Ngoyo, hingga Desa Mayoe sangat merasakan manfaatnya. Dulu kami harus bermalam dalam perjalanan ke pasar atau rumah sakit. Sekarang hanya butuh beberapa jam.”

Sementara itu, manfaat jalan ini juga dirasakan di sektor kesehatan dan pendidikan. 

“Dengan jalan yang sudah bagus, tim medis bisa mengunjungi pustu-pustu hingga ke dusun-dusun di Desa Mayoe tanpa hambatan. Demikian pula dengan guru-guru yang bertugas di sekolah pedalaman.” kata Kepala Puskesmas Desa Lijo.

Program ini menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi antara dunia usaha dan masyarakat bisa menghasilkan dampak besar.

PT CAS menunjukkan bahwa komitmen terhadap lingkungan sosial bukan sekadar slogan, tetapi aksi nyata untuk kemajuan wilayah pedalaman.

Artikel ini telah tayang di TribunPalu.com dengan judul PT CAS Bantu Perbaikan Jalan Sepanjang 30 KM di Morowali Utara Sulteng, https://palu.tribunnews.com/2025/07/09/pt-cas-bantu-perbaikan-jalan-sepanjang-30-km-di-morowali-utara-sulteng.



 

Jeritan dari Pedalaman Morowali Utara: Kami Ingin Sekolah, Kami Rindu Jalan

 


TRIBUNPALU.COM, MORUT – Ribuan warga Suku Taa Wana mendiami pedalaman Desa Manyoe, Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.


Mereka hidup terpencil sekitar 60 kilometer dari jalan aspal terdekat.

Suku Taa Wana bertahun-tahun hidup berpindah-pindah di hutan, terhubung dengan jalan setapak yang ditumbuhi ilalang.

Bahasa Indonesia pun tidak semua mereka pahami, sebuah kenyataan getir menjelang 80 tahun Indonesia merdeka.

Ketika alat berat seperti ekskavator dan buldoser mulai bekerja membuka akses ke kampung mereka, wajah-wajah bahagia langsung terpancar.

Bagi mereka, jalan lebar adalah berkah yang disambut seperti hari raya.

Anak-anak berlarian di jalur tanah yang baru terbuka, ibu-ibu menggendong anak dan bapak-bapak membawa bekal dari bukit ke bukit.

Remaja putri mengenakan baju baru, bahkan lipstik dan pita rambut layaknya hendak pergi ke kota.

Mereka menyambut tim pembuka jalan dengan memberikan tebu manis untuk dimakan bersama-sama.

Awalnya, masyarakat takut bertemu orang baru dan memilih mengintip dari balik semak ilalang.

Namun, setelah tim mendatangkan Kodi, sepuh dari Watu Lempe yang sangat mereka hormati, perlahan mereka mendekat.

Komunikasi pun mulai terjalin, meski terputus-putus oleh perbedaan bahasa.

Tetap saja, hangatnya pertemuan tak terbendung.

Rasa nyaman tumbuh meski tak semua saling memahami secara verbal.

Dengan bantuan penerjemah lokal, tim mencoba mengenalkan angka kepada anak-anak dan remaja.

Mereka menghitung dari satu sampai sepuluh pun masih menjadi tantangan.

Di tengah keterbatasan, terlihat jelas kerinduan warga Suku Taa Wana akan pendidikan, akan dunia yang lebih luas dari hutan dan ladang berpindah.

Namun harapan itu mendadak terhenti. Pengerjaan jalan yang baru saja mengubah hidup mereka kini dihentikan.

Teriakan lirih terdengar dari anak-anak dan ibu-ibu.

“Kami ingin jalanan. Kami ingin sekolah. Kami ingin hidup lebih baik.”

Tak banyak yang bisa dilakukan selain menangis dan mengurut dada melihat kenyataan itu.

Bue Pangga, seorang tetua adat yang diperkirakan berusia hampir 100 tahun, menyampaikan harapan yang menggugah.

“Dunia itu baik. Hanya pikiran dan keinginan manusia yang membuatnya buruk. Maka harus sekolah supaya jadi baik,” tuturnya dengan mata sembab.

Ia tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, tapi tutur katanya penuh filosofi, seakan sedang berbicara dari ruang kelas para sarjana.

Kini warga hanya berharap satu hal. pengerjaan jalan itu dilanjutkan.

Bukan demi kemewahan, melainkan demi anak cucu mereka yang rindu pendidikan, persatuan, dan masa depan yang lebih terang.

Suku Taa Wana, juga dikenal sebagai Tau Taa Wana atau To Wana, adalah salah satu kelompok etnis adat yang mendiami wilayah pedalaman Sulawesi Tengah, Indonesia.

Nama “Tau Taa Wana” secara harfiah berarti “orang yang tinggal di hutan”, mencerminkan cara hidup dan keterikatan mereka yang erat dengan lingkungan hutan.

Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai Tau Taa atau “orang Taa.”

Suku Taa Wana tersebar di beberapa wilayah pegunungan dan hutan di Sulawesi Tengah, terutama di sekitar Pegunungan Tokala, Sungai Bongka, dan Sungai Salato, yang meliputi sebagian Kabupaten Tojo Una-una, Morowali, dan Morowali Utara.


Artikel ini telah tayang di TribunPalu.com dengan judul Jeritan dari Pedalaman Morowali Utara: Kami Ingin Sekolah, Kami Rindu Jalan, https://palu.tribunnews.com/2025/07/26/jeritan-dari-pedalaman-morowali-utara-kami-ingin-sekolah-kami-rindu-jalan?page=all.


Penulis: Regina Goldie | Editor: mahyuddin


SUMBER : https://palu.tribunnews.com/2025/07/26/jeritan-dari-pedalaman-morowali-utara-kami-ingin-sekolah-kami-rindu-jalan



Mengenal Tau Taa Wana


 Diantara hijaunya Pegunungan Tokala, Sulawesi Tengah, terdapat komunitas dengan sejarah yang sangat tua. Inilah suku Wana.
Suku itu sering disebut juga dengan Tau Taa Wana yang berarti orang yang tinggal di hutan. Namun, mereka juga suka menyebut diri sebagai Tau Taa atau orang Taa.

Suku Wana berbicara dalam bahasa Taa. Dilihat dari bahasa yang digunakan suku Wana, mereka memiliki kemiripan bahasa dengan suku Taa yang berada di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Tojo Una-Una.
Suku Wana atau suku To Wana diyakini telah ada di Sulawesi sejak 8.000 tahun yang lalu. Sebelum sekarang mendiami kawasan Pegunungan Tokala, Lipu Sumbol, Desa Taronggo, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, nenek moyang orang Wana berasal dari sekitar Teluk Bone.
Lipu yang ditinggali Tau Taa Wana ialah unit sosial terkecil masyarakat di suku Wana yang biasanya terdiri atas beberapa keluarga. Rata-rata keluarga itu memiliki hubungan darah (keturunan langsung).
Sistem berladang Tau Taa Wana masih menganut sistem berpindah, tapi dengan rotasi tertentu dalam kurun sekian tahun. Pada rotasi itu, akan terbentuk semacam pola kembali lagi ke titik yang pernah dibuka sebelumnya sehingga praktis saat ini hampir tidak ada lagi pembukaan ladang baru dengan membabat hutan.
Soal makanan, tidak ada tata cara yang kompleks dalam mengolahnya. Mereka juga sangat jarang menggunakan garam sehingga makanan mereka umumnya sangat tawar.
Di sisi lain, cara masak itu membuat kondisi kesehatan mereka cukup baik meski sebenarnya kesadaran kebersihan Tau Taa Wana buruk.
Ini bisa dilihat dari tidak adanya tempat khusus untuk keperluan buang air besar. Sampah dan sisa makanan juga dibiarkan saja berserak­an di rumah sehingga mengundang lalat. Namun, itu semua mereka anggap biasa.
Sementara itu, tingkat kelahiran Tau Taa Wana dapat dikatakan tinggi. Ibu muda yang bahkan belum berumur 30 tahun bisa memiliki lima hingga tujuh anak.
Sampai kini suku Wana memang bisa bertahan dengan cara hidup mereka. Namun, entah sampai kapan, hingga akhirnya kemajuan zaman harus memaksa mereka untuk berubah.


CSR Bantuan Angkut Papan Perumahan

  CSR bantuan angkut papan perumahan Guru Yayasan Alesintowe Padang Tangkal.